(B.J. HABIBIE: 1993:66)
MASA KECIL YANG
SINGKAT
SULAWESI, dari ribuan pulau di Indonesia, ada sebuah pulau yang
di kemukakan Solichin Salam, sebuah pulau yang mirirp huruf ‘K’ atau bagaikan
“Seekor kepiting”, atau mirip juga seperti “Seekor Udang”, pulau itu adalah
Sulawesi. Sebuah pulau besar di bagian Timur Indonesia dengan luas dataranya
18.903.500 ha, sedangkan luas hutanya 9.900.000 ha, selain di kelilingi laut
juga memilki Khasanah alam berupa terdapatnya 3 buah danau, yakni: Danau Tempe,
Danau Towuti, Danau Poso. Di sini terkandung kekayaan alam berupa : Cengkeh,minyak
(lepas pantai makssasar), batu bara (Sulawesi selatan), biji besi /Laterik (Sulawesi
tenggara/tengah dan selatan).
Bumi Sulawesi sejak abad 17 hingga dewasa ini telah
melahirkan tokoh-tokoh ternama di anataranyaSultan Hasanuddin, Aru Palaka, La
Pawawoi Kareang segeri atau raja Bone XXXI, Pong Tiku, La Galigo, Maria
Walalanda Maramis, Dr.G.S.J. Ratulangi, Arnold Monomutu, Mr. A.A. Maramis, L.N.
Palaar, Robart Wolter Mongonsidi, M. Yusuf Andi Matalata, A.J. Mokoginta,
Mohammad Gobel, J. Prapak, Jusuf Kalla, Dan tentunya Prof.Dr.Ing.B.J. Habibie.
Bacharuddin Yusuf Habibi (B.J. Habibi), bagaiman perjalanan
masa kecilnya) pengalaman, “perenungan fikiran” dan “perantauan mental” sampai
menemuakan dan meenguhkan apa yang menjadi tekad hidupnya?
Ia anak Pare-Pare, sebuah kota di tepi pantai yang bermakna,
B.J. Habibi lahir pada tanggal 25 Juni 1936, berdarah campuran Bugis dan Jawa,
Pasangan dari ayahnya yang bernama Alwi Abdul jalil Habibie berasal dari
Gorontalo, dan ibunya Tuti Mariani Puspowardoyo dari Yogyakarta, Habibie anak
nomor empat dari jumlah delapan bersaudara, mereka tumbuh di tempat yang
terhormat di tempat mereka tinggal masa kecilnya, di salah satu rumah yang
sekarang berada di jalan Sultan Hasanuddin. B.J. Habibie. Kemudian lebih
dikenal dengan dengan sapaan akrabnya sejak kecil hingga sekarang sebagai Rudy.
Ayahanda B.J. habibie, Alwi Abdul Jalil Habibie yang lahir
pada tanggal 17 Agustus 1908 di Gorontalo, merantau ke Jawa Barat dan mengenyam
pendidikan Sekolah pertanian di Bogor. Dari pihak ayah, silsilah B.J. Habibie dapat di jelaskan bahwa ayahnya
berasal dari keturunan Bugis Makassar yang berasal dari daerah Sulawesi
Selatan. Di Gorontalo, bermukim seorang yang bernama Lamakasa (Nama singkatnya
Lakasa) dari suku Bugis. “La” biasanya bagi orang Bugis di tambahkan di depan
untuk nama seorang lelaki. Lamakasa kemudian menikahi seorang gadis gorontalo
yang bernama Hawaria dari perkawinan itu, lahirlah seorang putri dan empat orang
putra, salah seorang dari mereka yang putra di beri nama Habibie. Habibie
kemudian mempersunting Layiyo, lahirlah Abdul Jalil Habibie sebagai anak kedua
di antara tujuh bersaudara. Abdul Jalil Habibie mengawini Hailu Tantu yang
kemudian memiliki lima orang putra dan empat orang putri, salah seroang di
antaranya Alwi Abdul Jalil Habibie yang selanjutnya menikah dengan R.A. Tuti
Mariani Puspowardojo, mereka adalah orang tua Bacharuddin jusuf Habibie dari
delapan bersaudara.
Ibundanya, yaitu R.A. Tuti Mariani Puspowardojo lahir di
Yogyakarta 10 November 1911, keduanya
bukan kelahiran Sulawesi Selatan. Berpendidikan HBS (Hugere Burger School). Dari garis ketururunan ibu B.J. Habibie menurut
A. Makmur Makka, dapat di telusuri dari sebuah dokumen yang di terbitkan pada
tahun 1922 oleh Tjitrowardojo Fonds. Dari garis keturunan ini. B.J. Habibie
merupakan generasi keempat dari Tjitrowardojo. Tjitrowardojo,seorang terdidik
yang telah yang telah meraih dokter dalam usia19 tahun. Ia merupakan produk
politik “etis” kolonial Belanda masa itu. Tjitrowardojo lahir 14 Januari 1847
di Purworejo, dan wafat pada 11 Juli 1922. Didalam Vorkorte Staat Van Dienst Van M. Ng. Di sebutkan bahwa pada 22
Desember 1868, Tjitrowardojo berhasil meraih Diploma Dokter Djawa dari C.D.G. dalam
usia 19 tahun. Pada tanggal 14 Januari 1869, ia di angkat sebagai Terbeschikking Resident Semarang dengan
gaji 30 Gulden dari O.E.N. Tujuh bulan kemudian tepatnya pada tanggal 12
Agustus 1869 ia di angkat sebagai Assisten Leerar Sekolah Dokter Djawa Weltevreden,
di samping pernah mengajar di STOVIA sebagai staf pengajar pertama di lembaga
pendidikan tersebut.
Tjitrowardojo kemudian menikah dengan R.Ng. Soerahtinah,
pernikahan itu di karunai tujuh orang putra-putri yakni; R. Sastrowardojo. Rr.
Goemoek, R. Koesman, R. Kadis , R. Tjitrosendjojo, Rr. Radijem, Rr. Soemilah.
Rr. Goemoek yang lahir 18 Juli 1873 dan menikah dengan R. Peoswardojo yang
lahir pada 30 Desember 1872 di karuniai tujuh putra-putri, salah seorang di
antaranya Toeti Saptomarini yang lahir 23 Maret 1909. Ia kemudian dikenal
dengan Rd. Tuti Marini Pupowardojo,ibu dari B.J. Habibie.
Kakek dari pihak ayahnya seorang ulama sekaligus ketua adat
,bahkan telah mengenyam pendidikan modern pada masa pemerintahan Hindia
Belanda, dengan bersekolah di sekolah pertanian Bogor, dan pernah bertugas
sebagai tenag penyuluh pertanian (Landow
Consulent), dan masa kemerdekaan di tahun 1948, diangakat sebagai Kepala
Dinas pertanian Negara Indoneisa Timur yang berkantor di Ujung Pandang. Selain
sebagai warga yang “terkemuka” di Pare-Pare, juga dekat dengan kalangan
bangsawan Bugis. Sedangkan Kakek dari pihak deri pihak ibu, adalah keturunan
Dokter-dokter di Jawa. Walaupun memiliki kedudukan terhormat, tidak berarti
segalanya mudah dalam membangun komunikasi sosial dalam lingkup besar antara
ayahanda dengan ibunda dari B.J. Habibie berasal dari latarbelakang yang
berbeda, yang menurut Belveer Singh, B.J. Habibie mengalami dan menyadari adanya “konflik
budaya”, kedua orang tuanya dipertemukan dan menikah dari lingkungan budaya
yang berbeda.
Mereka tingal di Ujung Pandang tatkala ayahanda diangkat
sebagai Kepala Dinas Pertanian Negara Indonesia Timur. Rumah yang di
tinggalkanya itu bersebrangan dengan merkas Brigade Mataram, yang saat itu
komandan Brigade tersebut adalah Letnan Kolonel soeharto. Sebagian pesonalnya
tentu berasal dari Jawa, mereka kerap mengunjungi keluarga itu,karena ibunda
B.J. Habibi, tidak pernah menjalani hidupnya dari belas kasihan orang lain.
Suatu ketika ayahanda B.J. Habibie , Alwi Jalil habibie
terkena serangan jantung, itu terjadi pada tanggal 3 September 1950. Keluarga
yang di rumah itu meminta tolong kepada personal yang ada di lingkungan Brigade
Mataram. Ayahanda Alwi Jalil habibie , akhirnya wafat saat sedang mengimami
Sholat Isya para keluarga. Pada waktu itu, Letkol Soerhato yang mengatupkan
mata almarhum B.J. Habibie.
Bagi B.J. Habibie yang sedang tumbuh sebagai “kuncup bunga
yang sedang mekar”, sebagi remaja belia, beliau, adalah masa-masa membutuhkan figure dan itu tentunya
secara ideal ada dalam diri seorang ayah. B.J. Habibie, tidak mengalami
“sentuhan” figure dari ayah. Kalaupun ada kenangan, barangkali demikian singkat
kerena Tuhan mentakdirkan lain. Sunguh kejadian ini kelak menjadi salah satu
peristiwa memberi kesan yang mendalam bagi diri
B.J. Habibie. Betapa tidak, sebagaimana dikemukakan Bilveer Singh dalam
bukunya, bahwa peristiwa saat-saat akhir
dari kematian ayahanda alwi Jalil Habibie di usia 42 tahun terjadi 9.00,
ketika memimpin Sholat Isya dan baru saja mengucapkan “Allahu akbar”, tiba-tiba
terkena serangan jantung. Proses kematian ketika sedang sholat, bagi keyakinan
Agama Islam merupakan kematian yang (insya Allah ) di rahmati Allah SWT.
Almarhum sedang dalam puncak karir, sebab ia mengemban tugas guna mengembangkan
perekonmian di Indonesia Timur Ibunda B.J. Habibie ketika itu di usia 37 tahun
sedang delapan bulan mengandung Timmy Habibie, sedang berada di sudut ruangan,
ia sempat menjeri-jerit, menyaksikan peristiwa yang menimpa suaminya. B.J.
Habibie juga menyaksikan peristiwa itu saat ayahnya menarik nafas terakhir.
Saat di pastikan oleh dokter Tek Irsan dari Brigade Mataram
bahwa Alwi Jalil Habibie dinyatakan wafat, Ibunda Tuty Marini Puspowardoyo
bersumpah di hadapan jenazah yang di saksikan anak-anaknya. Kata-katanya selalu
terngiang di telinga B.J. Habibie dalam hidupnya. Ibunda itu bersumapah:
Suamiku
yang tercinta Kana,
Dihadapan
jenazahmu dan semua yang ada,
Aku
bersumpah demi Allah.
Bahwa
aku akan, dengan segenap kekuatan, daya dan keringat,
Menjadikan
setiap anakmu temasuk yang masih didalam kanduganku,
Insya
Allah menjadi manusia-manusia. Yang berguna bagi masyarakat,
Bangsa
dan agama, yang senantiasa menjunjung tinggi namamu,
Pergilah
dengan damai doa kam akan menyertaimu
selalu.